Tugas Sastra (Perbandingan Novel Ronggeng Dukuh Paruk dan Tarian Bumi)



SINOPSIS TARIAN BUMI
Cerita tentang seorang anak perempuan bernama Telaga yang lahir dari seorang Ibu bernama Luh Sekar, perempuan sudra yang menikah dengan seorang Ida bagus (nama depan laki-laki dari kasta Brahmana, kasta tertinggi dari masyarakat bali). Sudra adalah kasta terendah dalam masyarakat bali.
Telaga atau lengkapnya Ida Ayu (nama depan anak perempuan kasta brahmana) Telaga Pidada menyandang gelar bangsawan. Sejarah hidup Telaga sendiri penuh luka. Karena cintanya pada seorang laki-laki dari kasta sudra ia bersedia menanggalkan kebangsawannya.
Pernikahan Telaga dan Wayan sejak semula tidak direstui oleh kedua belah pihak orang tua mereka. Ibu Telaga, yang kemudian berganti nama menjadi “Jero” (Jero adalah nama yang harus dipakai oleh seorang perempuan sudra yang menjadi anggota keluarga griya) Kenanga, dulunya seorang penari sudra yang sangat cantik. Kehidupan keluarganya yang miskin dan terhina membuat Kenanga sangat berambisi untuk menjadi kaya dan terhormat. Satu-satunya jalan untuk mewujudkan keinginan itu adalah dengan menerima pinangan dari lelaki bangsawan yang tidak dicintainya. Bagi Kenanga, cinta tak penting, yang utama adalah kekayaan.
Laki-laki bangsawan yang dinikahi Kenanga kemudian ditemukan meninggal dalam dekapan pelacur. Ibu mertua Kenanga adalah wanita yang sangat keras. Sejak awal ia tidak menyukai anak laki-laki kesayangannya menikahi perempuan sudra. Ia menerapkan aturan yang sangat kaku. Bagi nenek Telaga, wibawa harus terus dijaga agar orang di luar griya mau menghargainya.
Dalam rumah besar dan mewah itu hanya teriakan nenek dan kata-kata kasar ayah yang sering keluar. Ibu Telaga jarang berbicara. Dan kakek hanya bisa diam. Setelah kematian ayah Telaga disusul kemudian nenek, Ibu mulai mengatur kehidupan Telaga. Kenanga tidak membiarkan Telaga berpikir untuk hidupnya sendiri. Keinginan-keinginan Kenanga adalah harga mati yang tak seorang pun bisa membelokkannya, pun demikian jodoh untuk Telaga, putri satu-satunya.
Sementara itu, Ibu Wayan, sangat keberatan niat putranya menyunting Telaga. Tak pantas laki-laki sudra meminang perempuan brahmana. Jika itu terjadi maka dikhawatirkan malapetaka akan menimpa keluarga mereka. Namun pernikahan tidak dapat dibatalkan karena Telaga telah mengandung calon benih Wayan. Telaga dan Wayan menikah untuk kemudian mereka tinggal bersama Ibu Wayan.
Namun pernikahan itu tidak berlangsung lama. Wayan ditemukan meninggal di studio lukisnya. Dari hasil pemeriksaan dokter diketahui bahwa Wayan mengidap penyakit jantung bawaan sejak kecil. Kematian putra satu-satunya mendorong Ibu Wayan meminta Telaga untuk melakukan upacara Patiwangi. Ibu Wayan meyakini sebelum Telaga melakukan upacara itu, selamanya ia akan menjadi pembawa malapetaka.
Upacara patiwangi adalah semacam upacara pamitan kepada leluhur di griya (tempat tinggal kasta Brahmana), karena ia tidak lagi menjadi bagian dari keluarga griya. Bukan sebuah upacara yang mudah. Karena upacara ini akan menurunkan harga diri keluarga griya dan menjatuhkan nama baik mereka. Dengan upara pamit ini akan menimbulkan masalah, karena Telaga akan dijadikan contoh dan dapat menyebabkan banyak Ida Ayu yang kawin dengan laki-laki sudra. Dan ini adalah aib bagi leluhur griya.

SINOPSIS RONGGENG DUKUH PARUK
Dalam Novel ini dikisahkan seorang ronggeng (penari) dari Dukuh Paruk bernama Srintil. Dukuh Paruk adalah sebuah desa kecil yang terpencil dan miskin. Namun, segenap warganya memiliki suatu kebanggaan tersendiri karena mewarisi kesenian ronggeng yang senantiasa menggairahkan hidupnya.

Dalam waktu singkat, Srintil pun membuktikan kebolehannya menari disaksikan orang-orang Dukuh Paruk sendiri dan selanjutnya dia pun berstatus gadis pilihan yang menjadi milik masyarakat. Sebagai seorang ronggeng, Srintil harus menjalani serangkaian upacara tradisional yang puncaknya adalah menjalani upacara bukak klambu, yaitu menyerahkan keperawanannya kepada siapa pun lelaki yang mampu memberikan imbalan paling mahal.

Meskipun Srintil sendiri merasa ngeri, tak ada kekuatan dan keberanian untuk menolaknya. Srintil telah terlibat atau larut dalam kekuasaan sebuah tradisi, di sisi lain, Rasus merasa mencintai gadis itu tidak bisa berbuat banyak setelah Srintil resmi menjadi ronggeng yang dianggap milik orang banyak. Oleh karena itu, Rasus memilih pergi meninggalkan Srintil sendirian di Dukuh Paruk.

Kepergian Rasus ternyata membekaskan luka yang mendalam di hati Srintil dan kelak besar sekali pengaruhnya terhadap perjalanan hidupnya yang berliku. Rasus yang terluka hatinya memilih meninggalkan Dukuh Paruk dan akhirnya menjadi seorang prajurit atau tentara yang gagah.

Dengan ketentaraannya itulah kemudian Rasus memperoleh penghormatan dan penghargaan seluruh orang Dukuh Paruk, lebih-lebih setelah berhasil menembak dua orang perampok yang berniat menjarah rumah Kartareja yang menyimpan harta kekayaan ronggeng Srintil.

Beberapa hari singgah di Dukuh Paruk Rasus sempat menikmati kemanjaan Srintil sepenuhnya. Tapi itu semua tidak menggoyahkan tekadnya yang bulat untuk menjauhi Srintil dan dukuhnya yang miskin. Pada saat fajar merekah, Rasus melangkah gagah tanpa berpamitan pada Srintil yang masih pulas tidurnya.

Kepergian Rasus tanpa pamit sangat mengejutkan dan menyadarkan Srintil bahwa ternyata tidak semua lelaki dapat ditundukkan oleh seorang ronggeng. Setelah kejadian itu Srintil setiap hari tampak murung dan sikap Srintil yang kemudian menimbulkan keheranan orang-orang disekitarnya. Kebanyakan mereka tidak senang menyaksikan kemurungan Srintil, sebab mereka tetap percaya ronggeng Srintil telah menjadi simbol kehidupan Dukuh Paruk. Dalam kurun waktu tertentu, Srintil tetap bertahan tidak ingin menari sebagai ronggeng.

Perlawanan atau pemogokan Srintil masih bertahan ketika datang tawaran menari dari Kantor Kecamatan Dawuan yang akan menggelar pentas kesenian menyambut perayaan Agustusan. Kalau pun pada akhirnya runtuh dan pasrah, bukan semata-mata tergugah untuk kembali tampil menari sebagai seorang ronggeng, melainkan mendengar ancaman Pak Ranu dari Kantor Kecamatan. Srintil menyadari kedudukannya sebagai orang kecil yang tak berhak melawan kekuasaan. Sama selaki ia tidak membayangkan akibat lebih jauh dari penampilannya di panggung perayaan Agustusan yang pada tahun 1964 sengaja dibuat berlebihan oleh orang-orang Partai Komunis Indonesia (PKI). Warna merah dipasang di mana-mana dan muncullah pidato-pidato yang menyebut-nyebut rakyat tertindas, kapitalis, imperalis, dan sejenisnya.

Pemberontakan PKI kandas dalam sekejap dan akibatnya orang-orang PKI atau mereka yang dikira PKI dan siapa pun yang berdekatan dengan PKI di daerah mana pun ditangkapi dan di tahan. Nasib itu terjadi juga pada Srintil yang harus mendekam di tahanan tanpa alasan yang jelas. Pada mulanya, terjadi paceklik di mana-mana sehingga menimbulkan kesulitan ekonomi secara menyeluruh.

Pada waktu itu, orang-orang Dukuh Paruk tidak berpikir panjang dan tidak memahami berbagai gejala zaman yang berkembang di luar wilayahnya. Dalam masa paceklik yang berkepanjangan, Srintil terpaksa lebih banyak berdiam di rumah, karena amat jarang orang mengundangnya berpentas untuk suatu hajatan. Akan tetapi, tidak lama kemudian ronggeng Srintil sering berpentas di rapat-rapat umum yang selalu dihadiri atau dipimpin tokoh Bakar. Walaupun Srintil tidak memahami makna rapat-rapat umum, pidato yang sering diselenggarakan orang. Yang dia pahami hanyalah menari sebagai ronggeng atau melayani nafsu kelelakian.

Hubungan mereka merenggang setelah beberapa kali terjadi penjarahan padi yang dilakukan oleh orang-orang kelompok Bakar. Sukarya merasa tersinggung dengan Bakar, karena Bakar mengungkit-ungkit masa lampau Ki Secamenggala yang dikenal orang sebagai bromocorah. Karena hal itu Sakarya memutuskan hubungan dengan kelompok Bakar. Sakarya tidak hanya melarang ronggeng Srintil berpentas di rapat-rapat umum, tetapi juga meminta pencabutan lambang partai. Akan tetapi, Bakar menanggapinya dengan sikap bersahaja. Dalam tempo singkat, Dukuh Paruk kembali ke tradisinya yang sepi dan miskin.

Akan tetapi, kedamaian itu hanya sebentar, karena mereka kemudian kembali bergabung dengan kelompok Bakar setelah terkecoh oleh kerusakan cungkup makam Ki Secamenggala. Sakarya menduga kerusakan itu ulah kelompok Bakar yang sakit hati, tetapi kemudian beralih ke kelompok lain setelah menemukan sebuah caping bercat hijau di dekat pekuburan itu. Sayang, mereka tidak mampu membaca simbol itu. Dan Srintil pun semangat menari walaupun tariannya tidak seindah penampilannya yang sudah-sudah.

Ternyata penampilan yang berlebihan itu merupakan akhir perjalanan Srintil sebagai ronggeng. Mendadak pasar malam bubar tanpa penjelasan apa pun dan banyak orang limbung, ketakutan, dan kebingungan, sehingga kehidupan terasa sepi dan mencekam. Berbagai peristiwa menjadikan orang-orang Dukuh Paruk ketakutan, tetapi tidak mengetahui cara-cara penyelesaiannya. Yang terpikir adalah melaksanakan upacara selamatan dan menjaga kampung dengan ronda setiap saat.

Keesokan harinya orang-orang Dukuh Paruk melepas langkah Kartareja dan Srintil yang berniat meminta perlindungan polisi di Dawuan. Tapi ternyata harapan berlindung kepada polisi itu berantakan, karena kepolisian dan tentara justru sudah menyimpan catatan nama Srintil yang terlanjur populer sebagai ronggeng rakyat yang mengibarkan bendera PKI.

Srintil pulang ke Dukuh Paruk setelah dua tahun mendekam dalam tahanan politik dengan kondisi kejiwaan yang sangat tertekan. Ia berjanji menutup segala kisah dukanya selama dalam tahanan dan bertekad melepas predikat ronggengnya untuk membangun sebuah kehidupan pribadinya yang utuh sebagai seorang perempuan Dukuh Paruk, meskipun tidak mengetahui sedikitpun keberadaan Rasus.    

Srintil bertemu dengan Bajus. Bajus berjanji akan menikahi Srintil, sehingga Srintil berusaha mencintai Bajus. Tapi Srintil sangat kecewa, karena Bajus ternyata lelaki impoten yang justru hanya berniat menawarkannya kepada seorang pejabat proyek. Srintil pun mengalami goncangan jiwa dan akhirnya menderita sakit gila sampai akhirnya dibawa ke rumah sakit jiwa oleh Rasus.















HATI PEREMPUAN
“CINTA yang Tumbuh Subur dihati Para Perempuan dan Akan Bertahan dalam Waktu yang Lama”

            Perempuan adalah mahluk terindah yang diciptakan oleh Tuhan. Memiliki tingkat sensitifitas yang cukup tinggi. Perempuan selalu mengedepankan perasaan, saat sedang menghadapi masalah. Selalu mencintai dengan setulus hati, walaupun sering disakiti. Kuat dan senantiasa penyabar. Seperti tokoh-tokoh dalam novel Tarian Bumi Juga Ronggeng Dukuh Paruk.
            Dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk, Srintil sebagai tokoh utama novel ini sangat mencintai Rasus. Cintanya bertahan hingga mereka dewasa, hingga Srintil sudah menjadi seorang Ronggeng. Salah satu konflik terumit yang dialami Rasus dan Srintil adalah ketika Srintil harus menempuh malam “buka klambu”.  Rasus dan Srintil saling mencintai, tapi Ronggeng adalah milik rakyat. Jadi, laki-laki mana saja asalkan ia punya uang berhak meniduri Srintil. Hati Rasus menolak, tapi mau bagaimana lagi.
            Jika dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk tokoh utama adalah seorang Ronggeng lain halnya dengan Tarian Bumi. Telaga, tokoh utama novel ini adalah anak dari Luh sekar seorang Sudra yang menikah dengan Kaum Brahma. Tapi karena Telaga lebih memilih untuk menikah dengan seorang dari kasta Sudra ia harus merelakan gelar kebangsawanannya. Baginya itu tak masalah, karena ia mencintai suaminya. Tapi, bagi ibu dan orang orang disekitarnya itu menjadi masalah. Karena kepercayaang orang Hindu.
            Kedua Novel ini menceritakan tentang dua kehidupan perempuan yang berbeda. Srintil yang berlatar di daerah Jawa Tengah dan Telaga yang berlatarkan Bali. Dua adat yang berbeda. Tapi sama-sama bercerita tentang perempuan yang terkungkung dalam adat sehingga mereka sulit menggapai cintanya. Srintil yang mencintai Rasus dan ingin memiliki keluarga kecil kandas harapannya karena adat. Adat yang tidak memperbolehkan Ronggeng memliki keluarga. Karena Ronggeng milik bersama. Begitupun dengan Telaga, seorang brahmana yang memutuskan menikah dengan laki-laki kaum sudra walaupun banyak yang tidak menyetujui keninginannya. Menurut kepercayaan setempat, jika perempuan kaum brahmana menikah dengan laki-laki kaum Sudra akan mendatangkan kesialan.
            Kedua perempuan ini mengalami tekanan yang kuat. Hingga akhir cerita Srintil tetap mencintai Rasus. Walaupun ia sempat memalingkan perhatiannya kepada Bajus, akhirnya Srintil gila karena dikecewakan oleh Bajus. Lain halnya dengan Telaga, dia ditinggal mati oleh suaminya. Tapi ia akan selalu mencintai suaminya.
            Srintil adalah seorang perempuan. Bagaimanapun ia, ia juga menginginkan kehidupan yang normal. Memiliki sebuah keluarga, harapannya sangat besar. Ia juga perempuan yang butuh dicintai dan diperhatikan oleh seorang laki-laki. Srintil juga punya hati dan perasaan. Sebenarnya dia rela mengorbankan keronggengannya. Telaga bahkan mengorbankan kebangsawanannya demi laki-laki yang ia cintai. Pengorbananya sangat tulus. Kedua perempuan ini mencintai laki-lakinya dengan tulus dan bersedia mengorbankan apapun. Hakikatnya perempuan adalah seorang yang tak ingin menyakiti hati orang yang dicintainnya.
            Perempuan sejatinya akan selalu menjaga hatinya untuk laki-laki yang ia cintai. Mereka akan memupuk dan merawat cinta itu sampai waktu yang tak bisa mereka tentukan sendiri. Karena memang cinta menerka tulus dan murni. Sesungguhnya laki-laki patut bersyukur dan berbangga hati jika mereka sangat dicintai oleh perempuan. Karena perempuan mencintai dengan setulus hati.
            Membandingkan dua novel besar ini dari segi bahasa. Memang masing-masing penulis memiliki gaya bahasa tersendiri. Menurut saya, bahasa yang digunakan Oka Rusmini lebih halus dan lebih bisa diterima oleh kalangan umum masyarakat atau orang awam yang kurang paham akan sastra. Sedangkan bahasa yang digunakan oleh Ahmad Tohari adalah bahasa jawa dan terdapat kata-kata kasar didalamnya. Walaupun ini adalah salah satu kekuatan Ahmad Tohari dalam menyampaikan cerita, tetapi masyarakat umum khususnya yang kurang paham akan sastra akan sulit menerima.
            Kekuatan lain dari Ahmad Tohari adalah kemampuan menyampaikan kejadian dengan detail dan rapi. Ahmad Tohari mengajak pembaca untuk lebih jelas membayangkan kejadian di dalam novelnya. Sehingga pembaca mampu membayangkan dengan jelas cerita dalam novel tersebut. Oka Rusmini tidak begitu menjelaskan kejadian dengan detail, tetapi pembaca bisa membayangkannya dengan baik.
            Cinta para tokoh perempuan kepada laki-lakinya sangat dalam. Mereka rela mengorbankan apapun demi sang pujaan, seperti Srintil yang merelakan keperawanannya untuk Rasus dan Telaga yang merelakan gelar kebangsawananya kemudian menikah dengan laki-laki sudra. Pengorbanan mereka sungguh besar, membuktikan sejatinya perempuan adalah mahluk yang memiliki perasaan yang terdalam jika ia mencintai. Perempuan akan mencintai dengan setulus hati.
            Pebedaan dua kebudayaan, budaya masyarakat Bali dan budaya Jawa. Kedua novel ini memiliki kekutan masing-masing. Perempuan yang masih dipandang sebelah mata. Masyarakat Jawa yang menganggungkan Ronggeng. Masyarakat Bali yang mengaggungkan kasta. Kedua novel tersebut lahir karena latar belakang penulis yang berbeda. Kedua novel ini mampu membawa pembaca kepada kedua kebudayaan yang berbeda.
            Permpuan adalah mahluk Tuhan yang diciptakan memiliki rasa cinta kasih yang tinggi dibandingkan dengan laki-laki. Cinta yang mereka miliki akan membuat hati damai. Jagalah wanita yang mencintai dan yang kalian cintai.



UNSUR-UNSUR NOVEL
A. Unsur-unsur Intrinsik Novel

1. TEMA

Tema yang terdapat dalam  novel Ronggeng Dukuh Paruk  adalah Kebudayaan. Sebuah Budaya Ronggeng yang dimiliki sebuah Kampung bernama Dukuh. Sedangkan Tema novel Tarian Bumi adalah Sulitnya perjalanan hidup perempuan di Bali.

2. TOKOH DAN PENOKOHAN

Tokoh utama  dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk adalah sang ronggeng Srintil, sang tentara Rasus. Srintil adalah seorang anak yatim piatu yang bercita-cita menjadi ronggeng. Dia pandai memikat, pandai menari, senang dipuji, cantik.Rasus adalah seorang anak laki-laki yatim piatu yang menyukai bahkan mengagumi Srintil.
Tokoh Utama dalam novel Tarian Bumi adalah Telaga. Seorang perempuan kasta Brahmana yang memutuskan menikah dengan Wayan seorang laki-laki dari kasta Sudra. Luh Telaga adalah orang yang bijaksana, tidak sombong, penurut, setia. Sedangkan tokoh laik-laki yaitu Wayan Sasmitha adalah orang yang bijaksana dan tanggung jawab.

3. ALUR/PLOT

Alur yang digunakan pada kedua novel ini adalah alur campuran. Ceritanya terkadang melaju ke masa depan, namun juga terkadang mengulas masa lalu.

4. LATAR/SETTING

Latar tempat yang secara umum adalah di sebuah perkampungan yang bisa dikatakan sebagai perkampungan “plosok”, yang disebut sebagai Dukuh Paruk. Sedangkan latar Tarian Bumi adalah di daerah Bali.

5. SUDUT PANDANG
·         Sudut pandang novel Tarian Bumi adalah sudut pandang orang ketiga pelaku utama.
·         Sudut pandang pengarang dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk adalah sudut pandang orang pertama serba tahu.

6. AMANAT

Amanat dalam Novel Ronggeng Dukuh paruk menurut saya adalah warga Dukuh Paruk boleh saja menghargai dan menjunjung tinggi adatnya. Tetapi ronggeng yang dijadikan objek adat adalah seorang wanita yang bagimanapun juga mempunyai hati dan perasaan yang juga harus dihargai. Mereka seharusnya tidak melupakan itu.
Amanat dalam novel Tarian Bumi adalah janganlah mudah menyerah, kerja keras dan semanagat yang tinggi pasti akan membuahkan hasil. Kebahagiaan tidak bisa dibeliu dengan harta.



B. Unsur-unsur Ekstrinsik Novel

 LATAR BELAKANG PENGARANG

AHMAD TOHARI

Ahmad Tohari, (lahir di Tinggarjaya, Jatilawang, Banyumas, Jawa Tengah, 13 Juni 1948; umur 64 tahun) adalah sastrawan Indonesia. Ia menamatkan SMA di Purwokerto. Namun demikian, ia pernah mengenyam bangku kuliah, yakni Fakultas Ilmu Kedokteran Ibnu Khaldun, Jakarta (1967-1970), Fakultas Ekonomi Universitas Sudirman, Purwokerto (1974-1975), dan Fakultas Sosial Politik Universitas Sudirman (1975-1976).
Dalam dunia jurnalistik, Ahmad Tohari pernah menjadi staf redaktur harian Merdeka, majalah Keluarga dan majalah Amanah, semuanya di Jakarta. Dalam karir kepengarangannya, penulis yang berlatar kehidupan pesantren ini telah melahirkan novel dan kumpulan cerita pendek. Beberapa karya fiksinya antara lain trilogi ''Ronggeng Dukuh Paruk'' telah terbit dalam edisi Jepang, Jerman Belanda dan Inggris. Tahun 1990 pengarang yang punya hobi mancing ini mengikuti International Writing Programme di Iowa City, Amerika Serikat dan memperoleh penghargaan The Fellow of The University of Iowa.
Ronggeng Dukuh Paruk, novel yang diterbitkan tahun 1982 berkisah tentang pergulatan penari tayub di dusun kecil, Dukuh Paruk pada masa pergolakan komunis. Karyanya ini dianggap kekiri-kirian oleh pemerintah Orde Baru, sehingga Tohari diinterogasi selama berminggu-minggu. Hingga akhirnya Tohari menghubungi sahabatnya Gus Dur, dan akhirnya terbebas dari intimidasi dan jerat hukum.
Bagian ketiga trilogi, berjudul Jantera Bianglala, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan cuplikannya dimuat dalam Jurnal Manoa edisi Silenced Voices terbitan Honolulu University tahun 2000, termasuk bagian yang disensor dan tidak dimuat dalam edisi bahasa Indonesia.
Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul The Dancer oleh Rene T.A. Lysloff. Trilogi ini juga difilmkan oleh sutradara Ifa Irfansyah dengan judul "Sang Penari" (2011). Tohari memberikan apresiasi yang tinggi terhadap para pembuat film Sang Penari, dan berujar ini akan jadi dokumentasi visual yang menarik versi rakyat, bukan versi kota sebagaimana dalam film-film sebelumnya.
Pada bulan Desember 2011, Ahmad Tohari mengungkapkan bahwa dirinya berencana untuk melanjutkan Triloginya menjadi Tetralogi dengan membuat satu novel lagi.


OKA RUSMINI

Oka Rusmini (Ida Ayu Oka Rusmini) lahir di Jakarta, 11 Juli 1967 adalah seorang penulis Indonesia, terutama puisi, novel dan cerpen. Ia juga pernah menjadi seorang wartawan di Bali Post.
Sosok dan karya-karyanya fenomenal dan seringkali kontroversial karena mengangkat sejumlah persoalan adat-istiadat dan tradisi Bali yang kolot dan merugikan perempuan, terutama di lingkungan griya, rumah kaum Brahmana. Oka juga dengan lugas mendobrak tabu, mendedahkan persoalan seks dan erotika secara gamblang. Semuanya itu dengan jelas bisa dinikmati pada novel Tarian Bumi (2000) yang telah dicetak ulang dan terbit berbahasa Jerman dengan judul Erdentanz (2007). Novel tersebut juga banyak diilhami kesenian Joged Bumbung, tari pergaulan penuh gerakan erotis yang sangat populer di Bali.
Ia telah beberapa kali diundang dalam acara kesusastraan di dalam dan luar negeri. Pada 1992 ia diundang sebagai penyair tamu dalam Festival Kesenian Yogya IV. Mengikuti Mimbar Penyair Abad 21 di TIM (Taman Ismail Marzuki), Jakarta pada tahun 1996. Mewakili Indonesia pada temu penulis se-ASEAN pada bulan Oktober 1997 yang bertajuk Bengkel Kerja Penulisan Kreatif ASEAN" di Jakarta. Pada tahun 2002 dan 2003 ia diundang pada Festival Puisi International di Surabaya dan Denpasar, dan pada 2003 menjadi tamu undangan Festival Winternachten yang diadakan di Hague dan Amsterdam. Ia juga menjadi penulis tamu di Universitas Hamburg, Jerman, tahun 2003.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ANALISIS FILM “TANAH SURGA KATANYA”

CURHAT 2021