Senyum Terakhir Ibu


Namaku Dobi, umurku baru menginjak angka tujuh dan sekarang aku masih duduk di kelas 2 SD. Keluargaku sangat harmonis. Ada ayah yang setiap pagi mengantarkanku ke sekolah sebelum dia pergi bekerja. Ada juga ibuku yang menyediakan sarapan pagi untuk diriku. Ayah dan ibuku selalu memberikan perhatian dan kasih sayang yang sanat lebih karena aku akan menjadi anak satu-satunya bagi mereka.
2 tahun setelah melahirkanku ibuku divonis menderita kangker rahim sehingga harus di operasi. Rahim ibu diangkat sehingga tidak mungkin ibuku mempunyai anak llagi. Itu sudah 5 tahun yang lalu, sekarang ibuku sehat dan selalu menemaniku. Aku sangat sayang ibuku.
Ayah adalah seorang pegawai kantor yang sangat rajin sehingga beliau sangat disayang oleh bosnya. Ayahku sekarang menduduki jabatan yang cukup penting di kantornya. Tapi perjalannya saat beliau bekerja tidaklah selalu mulus. Ada saja orang yang iri kepada ayah dan  berusaha memfitnah ayah. Untung saja tak pernah berhasil.
###

Ayahku adalah seorang pegawai yang tak pernah telat. Selalu tepat waktu dan sanagt ahli dalam bidang manajement. Ayahku adalah orang yang tak pernah dendam kepada siapapun walaupun beliau selalu disakiti. Ayah mengajarkanku untuk selalu sabar dan ikhlas, sehingga teman-temannya menyukai ayah. Tapi ada satu teman ayah yang sangat malas dan mencoba menghancurkan ayah karena iri dengan keberhasilan ayah di kantor.
Suatu saat teman ayah berhasil memfitnah ayah sehingga ayah turun jabatan. Ayah masih baik-baik saja. Tak menuntut balas apapun. Itulah ayahku selalu menerima keadaan. Setelah ayah turun jabatan ibukulah yang memberikan semangat pada kami “belum rejeki” kata ibu. Sampai suatu saat ayah dipecat dari kantornya. Itu membuat shock kami semua.
“mungkin belum rejeki kita to mas?” ibuku mencoba menenangkan ayahku.
“iya, semoga seperti itu. Besok aku akanmelamar pekerjaan. Semoga ada kantor yang mau menerima tenagaku.”
“semoga.”
“ayah? Kenapa ayah tidak membalas kelakuan jahat teman ayah.” Kataku polos.
“Dobi, kita ini hidup di dunia hanya sementara. Sepatutnya kita memaafkan kesalahan orang lain. Ayah yakin suatu saat nanti dia pasti sadar. Kita tidak boleh membalas kejahatan dengan kejahatn pula nak.” Perkataan ayah membuatku semakin yakin bahwa ayah orang terbaik di dunia ini selain guruku.
###

Seminggu, dua minggu dan akhirnya 6 bulan ayahku belum juga mendapatkan pekerjaan. Kami menyambung hidup dengan tabungan pendidikankuyang sedianya untuk membayar sekolahku kelak. Ibuku dengan kemampuannya membantu ayahku mencari uang. Memasak adalah keahlian ibuku, sehingga ibu sering diundang tetenggaku untuk memasak di acara hajatannya. Ibu juga sering menerima pesanan kue. Kue buatan ibu sangat enak.
Setelah setahun berlalu ayahku hanya menjadi seorang penjual koran. Kehidupan kami berubah sangat derastis. Ayahku mulai sering mabuk-mabukan dan ibuku mulai sering menangis karena kelakuan ayah. Apakah orang dewasa akan seperti inin bila sudah mendapatkan masalah yang besar. Sekarang ayah bukanlah orang yang terbaik di dunia. Dia adalah seseorang yang hanya bisa membuat hati ibu kecewa dan terluka. Ayah juga sering memukulku kalau aku mencoba membela ibu. “Tau apa anak kecil?” katanya. Suatu saat nanti saat aku dewasa ingin sekali aku menghajarnya, membenturkan kepalanya ke batu besar sampai dia sadar bahwa kami dulu adalah orang yang ia kasihi.
“Ibu? Kenapa ayah sering pulan malam? Kenapa ayah sering marah-marah? Dan kenapa ayah sekarang suka memukulku dan memukul ibu?” aku bertanya pada ibu dengan polosnya.
“mungkin ayah sedang lelah.” Setelah mejawab pertanyaanku itu ibu lalu menangis. Sehingga aku tak berani menanyakan pertanyaan itu lagi padanya. Aku takut ibu sedih.
Sejak itu ibuku jarang tersenyum. Selalu sedih dan murung. Ibuku yang cantik dan tambah manis bila tersenyum kini tak dapat lagi tersenyum  lepas.
###

Ibu mulai berkerut pipinya. Mungkin karena ibu merasakan beban ekonomi yang tak kunjung membaik. Juga karena kelakuan ayah. Sudah 2 tahun berlalu dan sekarang aku duduk dibangku kelas 4 SD. Ibu bekerja serabtuan untuk mencukupi kebutuhan kami. Ayah tak pernah menafkahi kami lagi. Dia hanya numpang makan dan tidur di rumah. Banyak tetangga yang menggunjingkan keluarga kami. Katanya ayah adalah seorang pencopet sekarang. Ingin sekali aku menanyakan hal itu kepada ibu. Tapi aku tidak berani.
Karena himpitan ekonomi aku juga ingin bekerja. Dan aku bekerja di rumah pak Haji Muhidin, beliau mempercayakan 1 empang berisi 500 ikan padaku. Karena pekerjaanku yang bagu beliau mulai mempercayaka beberapa petak empan lagi padaku. Awalnya ibu melarangku untuk bekerja, tapi setelah ibu melihat kasih sayang Haji Muhidin kepadaku ibu mulai memperbolehkanku bekerja. Haji Muhidin sangat menyayangiku begitu juga dengan bu Haji. Aku sering dipanggil untuk menemani Bu Haji ke pasar. Anaknya yang juga satu-satunya berkuliah di Australia, dan akan pulang 1 tahun sekali.
###

Saat aku kelas 6 SD ibu berkata padaku “sekarang sudah jarang ada orang yang memesan kue pada ibu, juga sekarang orang yang sedang mengadakan hajatan tidak pernah menggunakan jasa ibu lagi. Ibu harus pergi ke suatu tempat untuk mencari uang Dobi.”
“apa ibu harus pergi, kenapa tidak di rumah saja? Kan aku juga sudah bekerja.” aku merasa sangat sedih sekali.
“tidak sayang, ibu harus pergi menjadi TKW di luar negeri. Kemarin ada teman ibu yang menawarkan pekerjaan itu pada ibu.” Sambil memandangi wajah kecilku ibu menjelaskan.
Aku menyeka air mata yang turun di pipi ibu “kapan ibu akan berangkat?.”
“besok pagi.” Sahut ibu.
Aku kaget dan akupun menangis tersedu-sedu. “lalu aku disini sama siapa? Ayah? Mendingan aku mati dari pada harus hidup dengan ayah.”
Ibu mencoba menenangkanku “tidak sayang. Haji Muhidin bersedia untuk merawatmu. Sudah, sekarang kamu tidur ya.” Ibu tersenyum manis dan sangat lepas. Tak pernah aku melihat ibu tersenyum seperti ini.
Ku peluk erat tubuh ibuku. Kucium keningnya berkali kali “ aku sayang ibu” kata terakhirku untuk ibu malam itu. Aku tidur di pangkuan ibu dan merasakan kenyamanan yang sangat dalam saat aku mendekapnya.
“maafkan ibu sayang. Ibu sangat menyayangimu!” kata-kata itu terdengar samar tapi membuatku tersenyum.
###

Aku terbangun dari tidurku “Ibu?” aku memanggil sesorang yang ku sayang. Tapi tak ada jawaban. Aku teringat, semalam ibu berkata bahwa pagi ini beliau akan berangkat. Aku tersentak, beranjak dari tempat tidur dan berlari menuju kamr ibu. Berharap ibu masih terlelap di kamarnya. Akan tetapi harapanku pudar. Ibu sudah pergi. Aku menangis tersedu-sedu, ku coba memanggil ibu “IBU...IBU...” tak ada jawaban sama sekali. “Kenapa ibu tidak berpamitan denganku? Ibu, aku ingin sekali melihatmu sekarang.” Senyum ibu semalam adalah tanda terakhir. Aku sangat ingin melihat senym itu lag.
Saat aku mulai tenang, Ibu Haji datang ke rumahku, “Dobi, ya Allah kenapa kamu nang? Kamu mencari ibumu? Ibumu sudah berangkat tadi pagi-pagi sekali”.
Bayangan ibu mulai tampak pada seseorang yang sering aku panggil bujah (Ibu Hajah) “Ibu mana bujah?”
“sudah jangan menangis. Disini ada bujah yang akan menjagamu. Ibumu sudah berangkat kerja.” Ibu Haji memelukku. Pelukan ini, seperti pelukan ibu. “maafkan Bujah Dobi” suara itu lirih tapi aku medengarnya.
“kenapa Bujah meminta maaf?” kataku.
“tidak. Mungin kamu salah dengar. Ayo pulang ke rumah Bujah.” Ibu Haji mulai membibingku menuju rumahnya. “semoga Dobi tidak curiga denganku” kata-katanya dalam hati.
Saat itu aku dirawat dan tinggal di rumah Bujah. Pak Haji dan Bu Haji menyayangiku sepenuh hati.
###

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tugas Sastra (Perbandingan Novel Ronggeng Dukuh Paruk dan Tarian Bumi)

ANALISIS FILM “TANAH SURGA KATANYA”

CURHAT 2021