PURNAMA
Pagi yang masih sejuk itu aku
tiba di kampung halamanku, tepatnya di daerah Semarang Jawa Tengah. Pikiranku
serasa kembali ke masa kecilku yang menyenangkan dan sedikit menggelikan.
Menurutku. Tenang dan sangat damai, aku melangkahkan kaki menyusuri jalan
menuju rumah kedua orang tuaku. Saat itu hari masih gelap, mataharipun masih enggan
menampakkan dirinya. Aku sedikit demi sedikit mulai bisa melupakan sejenak
rutinitasku, menjadi TNI. Aku sampai di halaman rumah dan segera mengetuk
pintu.
“Assalamu’alaikum,
ibu..bapak! Jaka pulang bu!” teriakku dari teras rumah. Akupun mengetuk pintu,
hawa dingin menusuk tulangku.
“Wa’alaikumsalam.”
Suara ibuku. Beliau berlari dan memutar kunci derit pintu terdengar ketika itu.
“bu...!”
meraih tangan ibu.
“oalah
le kenapa tidak bilang jika mau
pulang? Ibu kangen nang!” menyambut
tangan lalu memelukku erat. “Ayo masuk, diluar dingin!” ajak ibu.
“Sari
dan Bapak kemana bu?” meletakkan tas di kamar tempat tidurku dulu.
“Sedang
mandi, kamu juga lekas mandi. Badanmu pasti terasa pegal semua.” Kata ibu
halus, kata-kata ibu selalu membuatku kangen kepadanya.
“Iya
bu!” aku tersenyum pada ibu. Mengambil peralatan mandi lalu menuju sumur sesuai
perintah ibu.
Adzan Subuhpun terdengar saat
aku melangkahkan kaki keluar rumah untuk menuju sumur. Jarak rumah dengan Sumur
tidak jauh, hanya sekitar 20 meter. Saat di tengah perjalanan aku bertemu
dengan bapak dan Sari. Gadis kecil berumur 8 tahun itu tampak terkaget-kaget
saat melihatku. Begitupun bapak, dia lalu berlari dan memelukku.
“Kapan
pulang nang? Bapak kangen sekali
padamu.”
“Baru
saja pak, aku juga kangen bapak”
“Mas
Jaka, Sari kangen! Suara gadis kecil melepas keharuanku dan bapakku.
“Iya
nok, mas juga kangen.Mas ke Sumur dulu ya! Pak aku ke sumur dulu ya.” Aku
berlalu meninggalkan mereka. Bapak dan Saripun melanjutkan perjalanan.
Aku kembali melanjutkan
perjalanan menuju sumur yang tk seberapa jauhnya dari rumahku. Hawa dingin
kembali menusuk tulang-tulangku. Sejuknya udara pagi menyegarkanku, aku ingin
belama-lama di sini di kampung halamanku tapi tak mungkin. Aku pikir ys
sudahlah, alhamdulilah aku mendapat cuti beberapa hari agar aku bisa bertemu
keluargaku.
***
Sore yang indah, aku memutuskan untuk berjalan-jalan dan
juga ingin bertemu Harjo. Sahabat kecilku. Bagaimana
kabarnya si gila itu? Sudah lama aku tak bertemu dengannya. Akankah dia Harjo
yang dengan kegilaannya ingin mendapatkan Purnama si kembang desa dan seorang
anak tunggal dari lurah kami. Lamunan dengan sejuta pikiran itu terus
membayangiku hingga akhirnya aku tersedar.
“le.. katanya mau jalan-jalan ko malah
nglamun di sini? Sari mau ikut kamu katanya. Tak cukup dia seharian mengganggu
tidurmu sekarang dia masih ingin selalu bersamamu.”
“oh,
iya bu. Aku juga hendak mengajaknya. Di mana Sari bu?” aku menjawab pertanyaan
ibu dengan sedikit gemetar karena kaget terbangun dari lamunan.
“Sedang
ganti baju habis mengaji. Kamu tunggu sebentar! Jangan lupa mampir di warung
Harjo sudah waras sekarang dia.” Kata ibu.
Belum sempat aku bertanya pada
ibu tentang Harjo, tanganku sudah ditarik oleh Sari. Gadis itu nampak
bersemangat sekali.
“eeehhh...
sabar sari. Pamitan sama ibu dulu!” pintaku.
“oh,
iya mas lupa. Bu Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam,
ati-ati ndug! Ati-ati nang, jaga adikmu!” ibu tersenyum penuh
kasih sayang.
“Iya
bu, aku pergi! Assalamua’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”
Sari kembali menarik-narik
tanganku. Dia sangat lucu aku sangat menyayanginya. Adik perempuanku itu sering
membuatku kangen. Sekarang umurnya 7 tahun, sudah SD kelas 2. Sejak
kepulanganku tadi pagi dia selalu mengikutiku kemanapun aku pergi, menceritakan
teman-temannya dan hal-hal yang lucu hingga dia tertidur di sampingku.
“nok, mas Harjo sekarang tinggal dimana?”
tanyaku pada Sari.
“Mas
Harjo kan tukang jualan mie ayam mas, kesana yuk aku pengen mie ayam mas.” Sari
merajuk padakku dengan gaya khas anak kecil.
“Iya
ayo, dimana dia berjualan?”
“Di
dekat pertigaan mas, ayo cepat mas.” Sari berlari kecil di hadapanku.
***
“Mas
Har, di cari mas Jaka!” teriak Sari dari luar warung.
“apa
Sar? Mas Jaka pulang?”
“Iya
mas. Mas buatkan aku semangkuk mie ayam ya!” pinta Sari.
“Har,
gimana kabarmu?” aku muncul di depan pitu warung Harjo.
“Jaka,
baik kabarku baik. Aku kangen kepadamu sahabatku. Kemana saja kau?” menyodorkan
semngkuk mie ayam pada Sari.
“aku
juga. Bagaimana dengan Purnama gadis impianmu itu? Apakah kau berhasil
mendapatkannya? Aku sudah pergi jauh darinya agar dia menjadi milikmu.” Tanyaku
penasaran.
“kau
tahu kan jak, dia sangat mencintaimu. Aku juga tahu kalau kau dulu juga
menyimpan perasaan yang sama padanya, tapi gara-gara keegoisanku...” belum
sempat dia menyelesaikan kata-katanya akupun memotong pembicaraannya.
“sudahlah,
tak penting. Dulu kau tak pernah mau bekerja seperti ini karena orang tuamu
kaya. Sekarang kenapa kau mau seperti ini?” tanyaku lagi.
“apa
kau tidak tahu? Apakah tidak ada yang memberitahukan kepadamu? Ibuku meninggal
karena serangan jantung, setelah dia tahu pinanganku kepada purnama ditolak.
Saat itu ibu juga sering sakit-sakitan. Aku merasa sangat menyesal Jak.” Harjo
mulai terisak.
“tidak
ada yang memberi tahuku, maafkan aku
Har. Sungguh aku tidak tahu.”
“tidak
apa Jak, apa kau juga tidak tahu kalau ayahku menjadi pemabuk dan penjudi sejak
saat itu. Dia frustsi berat, dia edan.
Sebulan setelah kepergian ibuku, ayahku overdosis, dia menyusul ibuku. Aku
menjadi tambah gila. Pinangan ditolak, ibu meninggal ditambah ayahku juga ikut
menyusul ibu. Saat itu aku ingin sekali bunuh diri sampai aku dipertemukan
dengan Aisah. Aku meminangnya. Dia menerimaku apa adanya.”
“Aku
turut berduka cita Har. Lalu Purnama menikah dengan siapa?”
“Dulu
dia hampir menikah dengan Bejo, tentara dari desa sebelah tapi bejo
membatalkannya. Bejo menemukan wanita yang lebih baik dari purnama. Purnama
sangat mencintaimu Jak, dia ingin punya suami seorang tentara karena dia ingin
mencari penggantimu. Tapi sayang, Bejo pergi dengan pacarnya saat akad nikah
akan berlangsung. Ayahnya stres berat dan akhirnya meninggal menyusul ibunya.
Yatim piatu dia sekarang. Setelah kepergian ayahnya dan kegagalannya menikah
Purnama gila. Untung saja neneknya masih hidup sampai sekarang, jadi dia bisa
merawat Purnama yang gila.”
“Kasihan
sekali dia Har, lalu siapa anak kecil yang sedang tidur itu?”
“Dia
haryo anakku. Hasil buah cintaku dan Aisah.”
“Lalu
kemana Aisah sekarang?”
“Sedang
ke sumur. Aisah orang yang menyadarkanku. Usaha orang tuaku bangkrut. Aku tidak
tahu harus bagaimana aku hanya bisa menangis saat itu. Tapi Aisah mengajariku
arti hidup, dia menumbukan kembali semangat di jiwaku. Perasaanku pada Purnama
menghilang seiring berjalannya waktu. Sekarang aku sangat mencintai Aisah juga
Hayo Jak.”
“syukurlah
kalau begitu. Lalu kenapa usaha orang tuamu bisa bangkrut?”
“ayahku pemabuk dan penjudi. Dia ternyata juga mengkonsumsi narkoba. Dia berhutang untuk membeli obat terlarag itu. Hutangnya menumpuk hingga harta kami menjadi gantinya.”
“ayahku pemabuk dan penjudi. Dia ternyata juga mengkonsumsi narkoba. Dia berhutang untuk membeli obat terlarag itu. Hutangnya menumpuk hingga harta kami menjadi gantinya.”
“Aku
turut menyesal, sungguh aku tidak tahu sampai separah ini.”
“sudahlah
har. Aisah yang menyuruhku untuk berjualan mie ayam. Memang hasilnya tak
seberapa tapi yang penting halal.”
“Mas
Har minta bungkus 4 ya! Tidak apa-apakan mas Jaka? Setelah ini kita pulang ya
mas. Aku pengen pipis!”
“4 nok? Siap.”
“Iya
tidak apa.”
Setelah Sari mendapatkan apa
yang iya inginkan aku berpamitan pada Harjo. Aku mendapat segudang pengalaman
yang mengesankan darinya. Dia melupakan Purnama. Kedua orang tuanya meninggal
dan hampir bunuh diri hingga ia bertemu dengan Aisah. Sungguh aku ingin tahu
kabar Purnama tapi aku tidak mau perasaan itu tumbuh kembali. Purnama bagaimana
keadaanmu dan dirimu sekarang.
***
Komentar
Posting Komentar